Rabu, 25 Mei 2011

Kisah Kolonel Rockwell menuju Islam

Bagi Donald Rockwell 'Beriman dan Ikatlah Untamu' Bukan Keyakinan Buta

 
Kolonel Donald S Rockwell lahir di Illinois, Amerika Serikat. Ia menyelesaikan studi d Universitas Washington dan Columbia di mana ia memperoleh banyak gelar kehormatan. Ia adalah seorang penyair, kritik sastra sekaligus pimpinan redaksi di Radio Personalities.

Ia mendapat pangkat kolonel saat ikut wajib militer pada masa Perang Dunia II, ketika AS melawan Jerman dan Jepang. Sebagai sastrawan ia pun menulis buku, salah satunya yang terkenal berjudul  "Beyond the Brim and Bazar of Dreams.

Dalam bukunya itu ia menuliskan pandangannya tentang Islam dan mengapa akhirnya ia memilih memeluk Islam. Berikut nukilannya yang pernah dipublikasikan oleh Islamic Review pada tahun 1935.

Kesetaraan dalam Islam selalu menarik perhatian Donald. Orang kaya dan orang miskin memiliki hak yang sama di lantai masjid, bersujud dalam ibadah yang rendah hati. "Tidak ada bangku yang disewakan atau tidak ada kursi khusus yang bisa dipesan sebelumnya,"

Kesederhanaan dalam Islam, daya tarik kuat dan atmosfer yang memikat dari masjid-masjid, kesungguhan para penganut setianya, serta perwujudan meyakinkan yang menginspirasi dari jutaan pemeluknya di dunia yang menjawab panggilan lima kali sehari untuk melaksanakan shalat--semua faktor tadi menarik hati Donald pertama kali.

Namun setelah ia memutuskan untuk menjadi pemeluk Islam, ia menemukan banyak lagi alasan mendalam yang kian memperkuat keputusan tersebut. Konsep kehidupan penuh kelembutan--nasihat bijaksana, amal untuk meningkatkan rasa kasih sayang, kemanusiaan yang luas serta perintis deklarasi hak milik perempuan--adalah faktor-faktor lain dari ajaran ini--begitu impresi Donald terhadap ajaran Islam, ia pandang luar biasa.

Begitu pula ketika mendengar hadis yang menuturkan kisah seorang pria Mekah dengan Rasul Muhammad yang berbunyi"Beriman dan percayalah pada Tuhan dan ikatlah untamu". Bagi Donald itu adalah bukti singkat paling jelas dari sebuah praktek keagamaan yang ditunjukkan tepat dalam kata-kata tak langsung Rasul Muhammad.

Dari kisah itu Donald menilai ada sistem bersikap normal dalam beriman, bukan keyakinan buta di bawah perlindungan kekuatan tak terlihat. Namun di sisi lain ia meyakini bahwa jika manusia melakukan semua dengan benar dan terbaik menurut kemampuannya, maka seseorang layak meyakini takdir baik sebagai kehendak Tuhan.

Selain faktor tadi ia juga terkesan dengan toleransi berwawasan luas Islam terhadap agama lain. Rasul Muhammad, tulis Donald, akan menegur pengikutnya yang tidak memperlakukan Ahli Kitab dengan baik, karena Ibrahim, Musa dan Isa juga diakui sebagai nabi dari Satu Tuhan. Tentu, tulis Donald, itu sikap yang sangat murah hati terhadap agama lain.

Satu juga yang digarisbawahi oleh Donald adalah praktek keagamaan dan ibadah yang bebas dari berhala dan kemusrikan. Donald memandang itu adalah inti utama dari kekuatan dan kemurnian menyehatkan dari keyakinan seorang Muslim.

Tak hanya itu, Donald juga kagum dengan kemurnian ajaran Rasul yang tidak terkooptasi dalam perubahan atau tambahan doktrin meski waktu telah terpaut jauh sejak Islam pertama kali diajarkan Rasul. Al Qur'an tetap seperti sejak pertama ia diturunkan. Kitab tersebut, ungkap Donald, justru hadir untuk membenahi umat politheis yang korup di era Rasul Muhammad. Sebagai jantung Islam itu sendiri, Al Qur'an tidak berubah.

Kesahajaan dan sikap tidak berlebihan dalam segala hal sebagai kunci utama dalam Islam diakui Donald telah memenangkan persetujuan dalam dirinya secara wajar tanpa pengecualian. Yang juga membuat ia semakin kagum, Islam juga menyentuh keseharian. Ia menyaksikan bagaimana Muslim yang sehat karena meneladani sikap Rasul, yakni hidup dalam kebersihan dan melakukan puasa untuk menekan nafsu duniawi.

Ketika Donald berdiri di depan masjid-masjid di Istanbul, Damaskus, Yerusalem, Kairo, Aljazair, Tangier, Fez dan kota-kota lain, ia menemukan hal lain yang menyentuh kesadarannya. Potensi ampuh kesederhanaan Islam lahir pada hal-hal lebih tinggi. Donald menyadari tak ada ornamen berlebih, ukiran-ukiran rumit, sosok makhluk hidup, gambar dan ritual seremoni dalam rumah ibadah tersebut.

Masjid, tulis Donald, adalah sebuah tempat kontemplasi yang sunyi dan tempat melakukan penghapusan diri ke dalam realitas yang lebih besar yakni Satu Tuhan yang Esa.

Ia juga menyukai konsep di mana Muslim tak memiliki perantara antara dirinya dan Tuhannya. Ia langsung menuju sumber tak kasat mata, pencipta kehidupan itu sendiri, Tuhan, tanpa ada ketergantungan terhadap rumus pengakuan dosa dan kepercayaan bahwa ada kekuatan seorang guru atau manusia suci sebagai penyelamat.

Terakhir namun tak kalah mengagumkan adalah persaudaraan dalam Islam. Terlepas dari warna kulit, aliran politik, ras dan negara, Donald merasa selalu menemukan rumah setiap saat dalam kehidupannya saat bersinggungan dengan Muslim dan Islam. Itulah salah satu faktor pula yang mendorong Donald untuk memeluk keyakinan tersebut
 
Sumber: Republika

Kisah seorang yahudi rusia menuju Islam

David Saphiro: Hanya Islam, Agama yang Dinamai Langsung oleh Tuhan

Secara etnis, Michael David Saphiro adalah keturunan Yahudi Rusia. Perjalanannya mencari Tuhan sudah dimulai sejak ia berusia 19 tahun. Ia mengaku pada masa itu ia membatasi dirinya dengan logika Sains. "Ya, saya dicuci otak dengan itu," ungkapnya.

Keyakinan Saphiro terhadap Tuhan tidak pasti. Tujuan hidupnya saat itu ialah menjadi bintang rock terkenal. "Saya tinggal di sebuah apartemen di Pasadena dan bekerja sebagai sekretaris. Memang menggelikan saya tahu," tuturnya.

Suatu malam ia pergi ke dapur dan berpapasan dengan temannya berkulit hitam. "Saya masih ingat bertanya padanya, 'Bisakah saya simpan vodka ini dalam kulkas malam ini?'. Kami berjabat tangan kemudian pergi tidur. Tapi justru setelah itu hidup saya berubah drastis," kata Saphiro.

Si teman kulit hitam tadi, seorang Muslim, adalah Muslim pertama yang pernah dikenal Saphiro. Didorong rasa ingin tahu luar biasa, Saphiro mengajak si teman mengobrol tentang keyakinannya. "Saya penasaran, apa itu, saya dengar tentang beribadah 5 kali sehari, juga tentang perang suci. Siapakah itu lelaki yang bernama Muhammad?" tuturnya.

Saat mengobrol ia ditemani oleh teman sekamarnya, penganut Kristiani, Wade. "Bertiga kami melakukan sesi dialog antara Yahudi, Kristen dan Muslim. Dalam obrolan itu kami menemukan banyak perbedaan sekaligus banyak persamaan," kata Saphiro.

Ketertarikan Shaphiro bergeser, yang semua berkutat seputar seks, obat-obatan dan pesta, ke pencarian serius terhadap kebenaran. Sebuah pencarianya yang menurut dia harus diselesaikan menyeluruh. "Ini pencarian terhadap Tuhan dan pencarian bagaimana untuk mengikuti-Nya," ungkap Saphiro.

Dalam perncarian itu Shapiro bertanya pada dirinya, "Oke mulai dari yang sederhana, beberapa Tuhan yang kamu pikir ada di luar sana?". Saat itu ia meyakini hanya satu.

"Tuhan yang lebih dari satu, terbagi-bagi tentu lebih lemah dari pada hanya satu Tuhan. Saya berpikir, bagaimana bila satu Tuhan tidak sepakat dengan Tuhan lain, pasti ada argumen dan pertikaian. Maka, satu tuhan adalah pilihan sadar saya," imbuhnya.

Begitu ia membuka pikiran terhadap kemungkinan keberadaan Tuhan ia mulai menganalisa berbagai macam keyakinan, mulai atheis hingga theisme. "Sesuatu yang mengarahkan saya kepada pilihan kedua adalah sebuah kutipan, 'Setiap desain memiliki desainer. Dengan kalimat itu dalam benak, akhirnya saya selalu bangun dan sadar bahwa Tuhan ada. Saya tidak dapat menjelaskan mengapa. Saya hanya merasa seperti itu."

Penemuan baru itu menimbulkan kegairah dalam diri Saphiro. Saat itu pula ia mengaku muncul rasa tanggung jawab untuk mengikuti kehendak Sang Pencipta. "Langkah berikut saya adalah memasuki dunia agama," ungkapnya.

Kembali Saphiro menanyai dirinya sendiri. "Di mana saya harus memulai. Kenyataannya ada ribuan di luar saya. Saya mesti mengeliminasi dan menyempitkan kepada sedikit pilihan," tuturnya. Awalnya ia pun bertanya bagaimana melakukan hal itu.

"Saat itu ada pemahaman yang masuk dalam benak saya, 'temukan agama yang bersifat monotheis'. Saya pikir, bukankah itu masuk akal karena saya percaya hanya ada satu Tuhan."

Ia pun melewati Budhaisme dan Hinduisme karena ia menganggap keyakinan tersebut politeisme. Sementara agama utama yang saat itu ia pandang memiliki pandangan Monotheis adalah Yahudi, Kristen dan Islam. "Karena saya keturunan Yahudi, saya pun memulai dengan Yudaisme. Satu Tuhan, nabi yang sama, 10 perintah, Taurat dan jiwa Yahudi.

Saat melakukan pendalaman ada gagasan dalam Yudaisme yang mengganggunya. Gagasan itu berbunyi 'Jika seseorang terlahir sebagai Yahudi, maka ia memiliki jiwa Yahudi dan mereka harus mengikuti Yudaisme. "Tunggu dulu, di bagian itu saya merasa itu ide diskriminasi. Bukan sesuatu yang universal,"

"Jadi apakah benar Tuhan membuat jiwa Yahudi, jiwa Kristen, jiwa Hindu atau jiwa Hindu? Saya pikir semua orang diciptakan sederajat. Jadi apakah karena seseorang terlahir dalam agama itu berarti derajat Tuhan tetap di sana meski si penganut melakukan kesalahan. Saya tidak sepakat dengan itu," tutur Saphiro.

Satu lagi yang mengganggu Saphiro adalah tidak ada konsep ketat mengenai neraka dalam Yudaisme. "Mengapa harus baik? mengapa itu bukan dosa? Saya tidak punya rasa takut terhadap hukuman, lalu mengapa saya harus menjaga moral?"

Usai mendalami Yudaisme, ia menuju pemahaman Kristen. Lagi-lagi ia terganggu dengan konsep trinitas, satu tuhan, satu bapa, satu anak dan ruh kudus. "Aduh tolong jelaskan bagaimana semua ini bisa menjadi satu Tuhan. Jadi bagaimana anda dapat meyakini hanya satu Tuhan bila yang ada pembagian seperti ini,"

Penjelasan demi penjelasan, pertanyaan demi pertanyaan, perbandingan demi perbandingan, analogi dan sebagainya tak mampu membuat Saphiro memahami konsep trinitas.

Hingga ia pun memasuki perjalanan berikut, mengkaji Islam. Islam berarti penyerahan diri. Keyakinan utama yang dipahami Saphiro dalam Islam adalah satu Tuhan, beribadah kepda Tuhan lima kali sehari, mewajibkan memberi 2,5 persen dari harta setiap tahun sebagai zakat, berpuasa saat Ramadhan--demi membuat seseorang lebih dekat kepada Tuhan dan menghargai sesama manusia dan kelima melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan haji bagi yang mampu.

Sejauh itu Saphiro tidak menemukan sesuatu yang sulit untuk dipahami. "Tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan logika saya di sini," ungkapnya.

Al Quran, sejauh yang ia tahu saat itu adalah kitab dengan kebijakan tanpa batasan waktu dan kisah-kisah penuh keajaiban yang menarik. "Banyak fakta ilmiah yang baru terungkap saat ini telah dinyatakan 1400 tahun sebelumnya dalam buku ini," ujarnya.

"Saat itu Islam telah melewati pertanyaan awal saya tentang agama satu tuhan. Namun saya ingin tahu lebih lanjut apakah agama ini universal? Apakah ia sejalan dengan sains? Saya menemukan banyak ayat di Al Qur'an yang berada di satu koridor dengan ilmu pengetahuan dan teknologi," tutur Saphiro.

Semakin banyak Saphiro menemukan fakta-fata yang ia nilai logis saat mengkaji agama tersebut, ada satu hal yang mulai sangat menarik perhatiannya yakni nama "Islam" itu sendiri. "Ini nama dari agama ini, saya menemukan ia ditulis berulang kali dalam Al Qur'an".

Ia pun mengingat riset yang ia lakukan sebelumnya. "Saya tidak mengingat satu pun kata 'Yudaisme' dalam perjanjian lama atau 'Kristiani' dalam Perjanjian Baru. Ini adalah hal besar," ujarnya.

Ia menyadari mengapa tak bisa menemukan nama sebenarnya agama tersebut di dalam kedua kitab tadi, karena memang tidak ada nama dalam kitab-kitab tersebut. Ia pun memahami Yudaisme merupkan bentukan kata Yuda-isme dan Kristiani tentu berasal dari "Kristus dan pengikutnya"

"Jadi inikah Yuda? atau Judah?" tanya Saphiro pada diriny. Nama itu sejauh yang diketahui Saphiro adalah pemimpin suku Hebrews ketika Tuhan menurunkan firmannya kepada manusia. "Jadi apa mungkin agama dinamai nama orang?" ujarnya.

Begitu pula ketika ia berpikir tentang Kristiani, yang berasal dari  nama Yesus Kristus. "Apa mungkin kita dapat mendeduksi nama agama dari orang-orang dengan melekatkan isme dan -anity," ungkap Saphiro. Terlebih lagi nama-nama tersebut tidak diungkap dalam kitab mereka, inilah yang membuat ia berpikir itu sangat aneh.

"Coba jika saya berjualan dan saya berkata "Apakah kamu mau membeli ini_______? Tentu orang akan bertanya, Apa ini_____namanya? Tentu saya tidak akan bisa menjual sebuah barang tanpa sebuah nama,"

Saat itu Saphiro meyakini nama adalah hal mendasar di mana manusia bisa mengidentifikasi objek, baik fisik maupun non fisik. "Jika agama harus dipraktekan dan disebarkan kepada setiap manusia di muka bumi, bukankah seharusnya ia memiliki nama?

Ia juga menekankan, nama itu seharusnya diberikan langsung oleh Tuhan, bukan bentukan manusia. "Ya itulah maksud saya. Nama Kristiani dan Yudaisme tidak tertulis dalam kitab suci mereka. Manusia yang menamainya, bukan Tuhan," kata Saphiro menyimpulkan.

"Gagasan bahwa Tuhan menghendaki sebuah agama diikuti oleh manusia tanpa memberi nama, sangat mustahil bagi otak saya untuk menerima," ujarnya. "Di titik itu, baik Kristen dan Yahudi kehilangan kredibilitas murni dalam logika dan agama sepenuhnya, setidaknya itu dalam prespektif saya," papar Saphiro.

Ia menemukan Islam adalah satu-satunya agama yang mengusung nama asli agama dalam kitab sucinya. "Itu bermakna besar bagi saya," ungkap Saphiro. "Saya menyadari saya akan mengikuti Islam, lalu saya pun menjadi Muslim. Saya menemukan kebenaran dan saya merasa keluar dari kegelapan menuju cahaya."
 
Sumber: Republika